Senin, 28 April 2008

DaSaR HukuM PeNyiaRaN di Indonesia

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji hukum UU Penyiaran sudah diketuk. MK menolak 20 pasal dan menerima 2 pasal yang diminta uji oleh enam lembaga (ATVSI, PRSSNI, IJTI, PPPI, Persusi, dan Komteve). Satu pasal yang diterima (Pasal 62) menyangkut kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal peraturan pemerintah di bidang penyiaran yang dikembalikan kepada pemerintah (presiden).

KPI menghormati dan menyambut baik keputusan MK ini karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 45 secara tegas disebutkan, "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya". Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki dalam penjelasannya mengemukakan bahwa UU tidaklah dapat menegasi UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri atau de constituie snijdt zijn eigen vlees (Putusan Perkara Nomor 013/PUU-I).

Hanya saja, tafsiran terhadap keputusan MK yang dikemukakan Todung Mulya Lubis dan dipancarkan oleh beberapa TV menyatakan bahwa KPI telah kehilangan kuasa untuk membuat regulasi. Pernyataan ini kemudian dikutip oleh beberapa media cetak sehingga terbentuklah opini publik bahwa regulasi penyiaran saat ini tidak berada dalam wewenang KPI. Masyarakat awam bahkan tergiring pada pemahaman bahwa MK telah memangkas habis KPI dengan mengabulkan seluruh permohonan judicial review.

Tafsiran ini salah. Penulis tidak ingin mengajukan tafsir bantahan, melainkan mengajak kita semua untuk melihat keputusan Mahkamah Konstitusi. Pemohon judicial review mendalilkan bahwa KPI dengan kewenangan meregulasi yang begitu besar menurut UU Penyiaran akan menjadi Departemen Penerangan masa lalu yang akan mematikan kebebasan dan kemerdekaan lembaga penyiaran. Hal ini, menurut pemohon, bertentangan dengan Bab XA UUD 1945.

Nah, mari kita lihat apakah MK menerima dalil tersebut dan mencabut kewenangan KPI membuat regulasi? Jawabannya adalah sebagai berikut, "Terhadap dalil pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan oleh pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran" (lihat hlm. 80 Salinan Lengkap Keputusan MK tentang UU Penyiaran).

Jadi, jelaslah dalam jawaban tersebut, MK tidak mencabut posisi KPI sebagai lembaga negara yang independen (Pasal 7) dan kewenangannya meregulasi (Pasal 8). Tidak satu pun huruf yang ada di Pasal 8 itu diubah MK. Pasal 8 ayat (2) tetap berbunyi, "KPI mempunyai wewenang: menetapkan standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat."

Dengan demikian, sudah tepatlah MK meluruskan Pasal 62 karena tidak pernah disebut KPI berwenang atas peraturan pemerintah. MK mencoret KPI di pasal tentang peraturan pemerintah itu dan sepenuhnya kewenangan peraturan pemerintah ada di tangan presiden. Tidak satu pun komisi di negeri ini bisa mengeluarkan, apalagi menetapkan peraturan pemerintah, termasuk KPI sekalipun.

Namun, wewenang KPI untuk meregulasi tak berubah, yaitu menetapkan standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran, serta menyusun peraturan (di seluruh pasal di mana KPI disebut mengaturnya) yang keluar dalam bentuk SK KPI, seperti halnya KPU mengeluarkan SK KPU atau KPK mengeluarkan SK KPK. Dalam hal PP di bidang penyiaran, KPI melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah. Implikasi keputusan MK dalam hal ini adalah mengubah leading sector penyusunan PP, yang semula KPI menjadi pemerintah.

Siapa pun selayaknya harus menghormati keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pertanyaan kritisnya adalah siapa yang diuntungkan dari putusan MK tersebut? Apakah industri penyiaran? Apakah KPI? Apakah justru pemerintah?

Bagi industri penyiaran, Jakarta khususnya, keuntungannya nihil karena kepentingan mereka yang termaktub dalam 20 pasal telah ditolak oleh MK. KPI sendiri tak diuntungkan dan tak dirugikan. KPI dirugikan oleh liputan TV-TV Jakarta atas putusan ini, nyaris tiada liputan berimbang (cover both sides) lantaran dari belasan TV swasta, hanya TPI yang mengejar keterangan dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus ini. TV-TV lain membuat opininya sendiri dengan mengutip konferensi pers Todung Mulya Lubis.

Anggota KPI Ade Armando menganalisis pemerintahlah yang paling diuntungkan dari putusan ini dan sebaliknya industri justru semakin terkendali. Todung Mulya Lubis yang sebelumnya mengkhawatirkan KPI menjadi monster seperti Departemen Penerangan di era Orde Baru, ternyata dengan kasusnya ini malah memberi peluang departemen baru yang mengurusi penyiaran nantinya akan benar-benar berkuasa seperti Departemen Penerangan dulu.

Tentu saja kalau adu wacana dan tafsir ini diteruskan, pasti tak akan selesai-selesai. Yang perlu disadari oleh semua pihak adalah bahwa kini UU Penyiaran sesudah putusan MK telah menjadi produk hukum yang final dan mengikat. Sudah jelas sekarang di mana posisi industri penyiaran, pemerintah, dan KPI. Industri penyiaran diatur oleh UU Penyiaran dan peraturan-peraturan di bawahnya (sampai DPR melakukan revisi atau melahirkan UU Penyiaran baru); pemerintah mengeluarkan PP tentang Penyiaran sesuai dengan UU yang berlaku; dan KPI sebagai lembaga negara yang independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

KPI pascauji hukum UU Penyiaran perlu secara gencar melakukan sosialisasi dan pendidikan publik dengan strategi yang sistematis dan terukur. Strategi ini penting pertama-tama untuk mematahkan opini yang dibangun dengan penyosokan (labeling) KPI sebagai "monster" dan membentuk opini baru tentang KPI yang independen. Uniknya, strategi independensi ini selayaknya justru dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan industri. Unik, karena sebagaimana kita tahu tiga pihak ini (KPI, pemerintah, dan industri) selama ini memasang jarak satu sama lain. Jarak yang sebetulnya tak perlu karena lebih digerakkan oleh arogansi ketimbang keharusan menjaga obyektivitas.

Pemerintah tidak mungkin membuat PP dengan mengabaikan KPI dan industri, kecuali PP tersebut memang sengaja dibuat rentan untuk digugurkan lewat uji materi ke Mahkamah Agung karena tak sesuai dengan UU Penyiaran. KPI juga tidak akan efektif menjalankan fungsinya dengan terus menyerang pemerintah maupun industri. Sebaliknya, industri pun akan babak-belur saling sodok bila tak ada koridor peraturan pemerintah yang diwasiti oleh KPI.

Kerendahan hati untuk secara lapang dada menerima keputusan MK murni sebagai produk hukum kiranya perlu dihayati industri, pemerintah, dan KPI sendiri. Kini saatnya bekerja menata ranah penyiaran bersama, supaya radio yang kita dengar dan TV yang kita tonton memang layak dan sehat untuk kita dengar dan kita tonton.

Tidak ada komentar: