KURSUS atau diklat/training siaran radio ‘gak perlu bayar mahal! Di Shinta Broadcasting School (SBS) Bandung, kamu cuma bayar Rp 500 ribu, untuk kursus siaran radio selama 24 X pertemuan, plus MAGANG siaran langsung (on air) di Radio Shinta 97.2 FM. So…, tunggu apa lagi, ayo buruan daftar! Tempat terbatas!
Fasilitas: buku panduan, studio mini, sample voice, sertifikat, plus magang on air.
Jadwal Diklat : Selasa-Kamis-Sabtu, Pkl. 18.00-20.00 WIB. Instruktur: bukan cuma dari Shinta FM, tapi juga dari penyiar pro radio papan atas Kota Bandung lainnya.
Materi kursus: teknik pernafasan, teknik vokal, teknik produksi, teknik siaran, scriptwriting, voice over, audio editing, dan sebagainya.
Angkatan I start 19 Februari 2008! Minat ikutan? Langsung datang aja ke Shinta Broadcasting School (SBS) Bandung di Studio Shinta FM - Kompleks Tamansari Bukit Bandung No. 13-B Jln. AH. Nasution - Sindanglaya Ujungberung Bandung Tlp. (022) 7811777, 7811888. e-mail: shintabroadcast@yahoo.com
Senin, 28 April 2008
KUNCI SUKSES SIARAN "Just Rileks"
RILEKS, santai, adalah kata kunci dalam sebuah siaran radio. Kamu tidak boleh gugup, grogi, ataupun tidak “pede” ketika siaran. Berikut ini tips kilat bagi kamu yang harus siaran di studio:· Pastikan kamu benar-benar rileks dan merasa nyaman di studio.
· Jika kamu harus menempati “kursi panas” (hot seat), yakni harus langsung tampil setelah penyiar lain, hadirlah di studio sekurang-kurangnya 15 menit sebelum kamu mengudara. Prepare lah….
· Duduklah senyaman mungkin di kursi, berusaha rileks, cari posisi duduk yang terasa nyaman banget buat kamu.
· Duduk tegak, jangan membungkuk! Ini penting banget karena cara duduk akan berpengaruh pada kualitas suara kamu. Jika kamu duduk membungkuk, hingga perut atau “diafragma” kamu tertekan, suara emasny ‘gak kan keluar tuh! Usahain dech janga pake celana ato sabuk yang superketat. Bebaskan perutmu dari tekanan!
· Pastikan semua peralatan menyala dan berfungsi, seperti mike, mixer, komputer, line telepon, de el el. Jika kamu ambil-alih kursis siaran dari penyiar lain, kamu biasanya nyangka bahwa semuanya OK –kecuali jika penyiar sebelum kamu itu iseng banget, ‘gak ngasih tau kalo ada kerusakan alat apa gitu. Jahat banget doi kalo gitu ya… (Pernah lho ada penyiar yang siaran, cuap-cuap dengan segala kecentilannya selama dua jam, pas udahan, eh… ternyata pemancarnya off ! Operator yang biasa nemeninnya tidur seeh…).
Penyiar Proffesional "Ga Cukup dengan Suara Bagus!!"
SUARA EMAS (Golden Voice) adalah modal utama penyiar. Tapi ketahuilah, suara bagus saja tidak cukup untuk menjadi penyiar pro. Suara bagus akan menjadi tidak bagus, gak enak didengar, jika sang pemilik suara sering mengatakan “OK”, “yang pasti”, atau “pastinya” secara berulang-ulang alias latah!
Kita juga sering melihat atau mendengar seorang MC yang “mengobral” kata-kata “OK”. Entah berapa ratus kata “OK” yang meluncur dari mulutnya selama ia berbicara. Mengenai hal itu, kita simak apa yang pernah dikemukakan MC kawakan, Krisbiantoro. Suatu ketika, ia berada di acara yang sama dengan MC muda usia, 20-an tahun. Krisbiantoro yang sudah dikenal pada awal 1970-an itu prihatin karena MC muda itu meneriakkan kata “OK” sampai ratusan kali. Krisbiantoro lalu menanyakan soal obral kata “OK” itu. “Saya bilang sama dia, ’Mbak-mbak, mbok ya okay-nya dikurangi’.” Dengan jujur, pembawa acara muda itu mengaku. “Iya Oom, kadang saya blank (kosong) dan tak tahu harus ngomong apa,” kata Kris menirukan rekan mudanya (Baca ASM. Romli, Kiat Memandu Acara: Teknik MC & Moderator, Nuansa Bandung, 2006).
Begitulah “si oke” menjadi senjata ampuh untuk mengisi kekosongan seorang MC atau penyiar radio. Dalam pendapat Krisbiantoro, rentetan kata “oke” itu muncul dari kedangkalan wawasan dan ketidaksiapan sang presenter. Kedangkalan atau keterbatasan wawasan itu pula yang kemudian melahirkan tabiat yang di mata penonton/pendengar terasa aneh, lucu, dan memuakkan. “Untuk menghindari kekosongan itu kita sering melihat sepasang pembawa acara teriak-teriak, sedangkan yang lain tepuk tangan sendiri lalu tertawa sendiri,” kata Krisbiantoro (Kompas, 21 November 2004).
Ini soal nonteknis. Soal wawasan ini penting banget, tidak boleh diabaikan. Kelancaran bicara bergantung pada wawasan penyiar. Penyiar yang tidak punya wawasan atau pengetahuan yang banyak, siarannya akan ”kering”, cuma ”say hello”, sering mengulang kata yang sama seperti kata “OK” tadi, dan kirim-kirim salam doang, trus puter lagu. Ah, ’dak ada isinya!
Untuk memiliki wawasan yang luas, penyiar harus rajin baca –baca koran tiap hari, majalah, artikel, buku, juga sering nonton berita televisi dan acara lainnya. Lebih baik lagi jika penyiar sering ikut hadir dalam acara diskusi, seminar, dan semacamnya.
Penyiar bisa menjadi andalan pendengar tentang banyak isu atau kejadian. Meraka, pendengar, selalu menganggap penyiar itu pergaulan dan wawasannya luas, sehingga ”banyak tahu” dan ”tahu banyak”. Penyiar harus in-touch dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan kata lain, kita harus “gaul” seperti mereka.
Lagi pula, bisa jadi penyiar setiap hari berhadapan dengan naskah yang berbeda. Nah, dalam menggunakan naskah itu sebagai bahan siaran, misalnya tips atau informasi aktual (berita), penyiar harus paham betul isi naskah itu. Belum lagi kalau harus siaran talkshow, bincang-bincang dengan narasumber. Tak jarang ’kan, narasumber atau bintang tamu mengemukakan topik atau istilah yang ”aneh-aneh”, disangkanya penyiar akan selalu mengerti.
Dijamin, kalo penyiar banyak baca, sehingga banyak tahu dan tahu banyak, siarannya akan berkualitas, ”bernas”, berisi, intelek, dan disukai pendengar. Siarannya tidak cuma bermodal suara bagus, tapi juga wawasan yang luas.
Itulah sebabnya, tidak sedikit radio mensyaratkan penyiarnya minimal D3, pernah kuliah, jurusan apa saja, tidak mesti jurusan broadcast atau penyiaran. Orang yang pernah kuliah diasumsikan ”haus ilmu” dan ”daya nalar”-nya terasah semasa kuliah. Pengalaman akademis dan intelektualnya sangat menunjang dirinya dalam siaran yang didengar banyak orang dengan berbagai tingkat kecerdasan dan pengetahuan. Karena pada intinya, pendidikan formal itu dibutuhkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan.
Penyiar juga terkadang berhadapan dengan situasi yang tak terduga. ‘Dalam sebuah siaran interaktif, pendengar radio terkadang memberi pertanyaan di luar topik.
Tentu saja, selain wawasan, penyiar juga harus menguasai teknik vokalisasi dan verbalisasi yang baik, sense of humor, sense of music, pemahaman alat siaran, pemahaman dan wawasan musik/lagu, dan sebagainya.
Buat para penyiar, selamat meluaskan wawasan… give your best announcing to your listeners!
BroadCast ScHooL
The importance of attending a school with an accredited broadcasting program is imperative. An accredited status in broadcasting and mass communications indicates that a program has met the values and standards that the broadcast journalism industry has established for schools of higher learning. Accreditation also helps students ensure that the program of study they will partake in will help to prepare them for entry-level positions in the broadcasting industry upon graduation in.
The only agency recognized by the Council for Higher Education Accreditation (CHEA) to accredit broadcasting and other journalism & mass Communications oriented programs is the Accrediting Council on Education in Journalism and Mass Communications (ACEJMC). They review broadcasting and other programs and grants qualifying ones an accredited status providing students and others confidence in the program and its integrity.
DaSaR HukuM PeNyiaRaN di Indonesia
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji hukum UU Penyiaran sudah diketuk. MK menolak 20 pasal dan menerima 2 pasal yang diminta uji oleh enam lembaga (ATVSI, PRSSNI, IJTI, PPPI, Persusi, dan Komteve). Satu pasal yang diterima (Pasal 62) menyangkut kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal peraturan pemerintah di bidang penyiaran yang dikembalikan kepada pemerintah (presiden).
KPI menghormati dan menyambut baik keputusan MK ini karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 45 secara tegas disebutkan, "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya". Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki dalam penjelasannya mengemukakan bahwa UU tidaklah dapat menegasi UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri atau de constituie snijdt zijn eigen vlees (Putusan Perkara Nomor 013/PUU-I).
Hanya saja, tafsiran terhadap keputusan MK yang dikemukakan Todung Mulya Lubis dan dipancarkan oleh beberapa TV menyatakan bahwa KPI telah kehilangan kuasa untuk membuat regulasi. Pernyataan ini kemudian dikutip oleh beberapa media cetak sehingga terbentuklah opini publik bahwa regulasi penyiaran saat ini tidak berada dalam wewenang KPI. Masyarakat awam bahkan tergiring pada pemahaman bahwa MK telah memangkas habis KPI dengan mengabulkan seluruh permohonan judicial review.
Tafsiran ini salah. Penulis tidak ingin mengajukan tafsir bantahan, melainkan mengajak kita semua untuk melihat keputusan Mahkamah Konstitusi. Pemohon judicial review mendalilkan bahwa KPI dengan kewenangan meregulasi yang begitu besar menurut UU Penyiaran akan menjadi Departemen Penerangan masa lalu yang akan mematikan kebebasan dan kemerdekaan lembaga penyiaran. Hal ini, menurut pemohon, bertentangan dengan Bab XA UUD 1945.
Nah, mari kita lihat apakah MK menerima dalil tersebut dan mencabut kewenangan KPI membuat regulasi? Jawabannya adalah sebagai berikut, "Terhadap dalil pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan oleh pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran" (lihat hlm. 80 Salinan Lengkap Keputusan MK tentang UU Penyiaran).
Jadi, jelaslah dalam jawaban tersebut, MK tidak mencabut posisi KPI sebagai lembaga negara yang independen (Pasal 7) dan kewenangannya meregulasi (Pasal 8). Tidak satu pun huruf yang ada di Pasal 8 itu diubah MK. Pasal 8 ayat (2) tetap berbunyi, "KPI mempunyai wewenang: menetapkan standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat."
Dengan demikian, sudah tepatlah MK meluruskan Pasal 62 karena tidak pernah disebut KPI berwenang atas peraturan pemerintah. MK mencoret KPI di pasal tentang peraturan pemerintah itu dan sepenuhnya kewenangan peraturan pemerintah ada di tangan presiden. Tidak satu pun komisi di negeri ini bisa mengeluarkan, apalagi menetapkan peraturan pemerintah, termasuk KPI sekalipun.
Namun, wewenang KPI untuk meregulasi tak berubah, yaitu menetapkan standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran, serta menyusun peraturan (di seluruh pasal di mana KPI disebut mengaturnya) yang keluar dalam bentuk SK KPI, seperti halnya KPU mengeluarkan SK KPU atau KPK mengeluarkan SK KPK. Dalam hal PP di bidang penyiaran, KPI melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah. Implikasi keputusan MK dalam hal ini adalah mengubah leading sector penyusunan PP, yang semula KPI menjadi pemerintah.
Siapa pun selayaknya harus menghormati keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pertanyaan kritisnya adalah siapa yang diuntungkan dari putusan MK tersebut? Apakah industri penyiaran? Apakah KPI? Apakah justru pemerintah?
Bagi industri penyiaran, Jakarta khususnya, keuntungannya nihil karena kepentingan mereka yang termaktub dalam 20 pasal telah ditolak oleh MK. KPI sendiri tak diuntungkan dan tak dirugikan. KPI dirugikan oleh liputan TV-TV Jakarta atas putusan ini, nyaris tiada liputan berimbang (cover both sides) lantaran dari belasan TV swasta, hanya TPI yang mengejar keterangan dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus ini. TV-TV lain membuat opininya sendiri dengan mengutip konferensi pers Todung Mulya Lubis.
Anggota KPI Ade Armando menganalisis pemerintahlah yang paling diuntungkan dari putusan ini dan sebaliknya industri justru semakin terkendali. Todung Mulya Lubis yang sebelumnya mengkhawatirkan KPI menjadi monster seperti Departemen Penerangan di era Orde Baru, ternyata dengan kasusnya ini malah memberi peluang departemen baru yang mengurusi penyiaran nantinya akan benar-benar berkuasa seperti Departemen Penerangan dulu.
Tentu saja kalau adu wacana dan tafsir ini diteruskan, pasti tak akan selesai-selesai. Yang perlu disadari oleh semua pihak adalah bahwa kini UU Penyiaran sesudah putusan MK telah menjadi produk hukum yang final dan mengikat. Sudah jelas sekarang di mana posisi industri penyiaran, pemerintah, dan KPI. Industri penyiaran diatur oleh UU Penyiaran dan peraturan-peraturan di bawahnya (sampai DPR melakukan revisi atau melahirkan UU Penyiaran baru); pemerintah mengeluarkan PP tentang Penyiaran sesuai dengan UU yang berlaku; dan KPI sebagai lembaga negara yang independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
KPI pascauji hukum UU Penyiaran perlu secara gencar melakukan sosialisasi dan pendidikan publik dengan strategi yang sistematis dan terukur. Strategi ini penting pertama-tama untuk mematahkan opini yang dibangun dengan penyosokan (labeling) KPI sebagai "monster" dan membentuk opini baru tentang KPI yang independen. Uniknya, strategi independensi ini selayaknya justru dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan industri. Unik, karena sebagaimana kita tahu tiga pihak ini (KPI, pemerintah, dan industri) selama ini memasang jarak satu sama lain. Jarak yang sebetulnya tak perlu karena lebih digerakkan oleh arogansi ketimbang keharusan menjaga obyektivitas.
Pemerintah tidak mungkin membuat PP dengan mengabaikan KPI dan industri, kecuali PP tersebut memang sengaja dibuat rentan untuk digugurkan lewat uji materi ke Mahkamah Agung karena tak sesuai dengan UU Penyiaran. KPI juga tidak akan efektif menjalankan fungsinya dengan terus menyerang pemerintah maupun industri. Sebaliknya, industri pun akan babak-belur saling sodok bila tak ada koridor peraturan pemerintah yang diwasiti oleh KPI.
Kerendahan hati untuk secara lapang dada menerima keputusan MK murni sebagai produk hukum kiranya perlu dihayati industri, pemerintah, dan KPI sendiri. Kini saatnya bekerja menata ranah penyiaran bersama, supaya radio yang kita dengar dan TV yang kita tonton memang layak dan sehat untuk kita dengar dan kita tonton.
KPI menghormati dan menyambut baik keputusan MK ini karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 45 secara tegas disebutkan, "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya". Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki dalam penjelasannya mengemukakan bahwa UU tidaklah dapat menegasi UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri atau de constituie snijdt zijn eigen vlees (Putusan Perkara Nomor 013/PUU-I).
Hanya saja, tafsiran terhadap keputusan MK yang dikemukakan Todung Mulya Lubis dan dipancarkan oleh beberapa TV menyatakan bahwa KPI telah kehilangan kuasa untuk membuat regulasi. Pernyataan ini kemudian dikutip oleh beberapa media cetak sehingga terbentuklah opini publik bahwa regulasi penyiaran saat ini tidak berada dalam wewenang KPI. Masyarakat awam bahkan tergiring pada pemahaman bahwa MK telah memangkas habis KPI dengan mengabulkan seluruh permohonan judicial review.
Tafsiran ini salah. Penulis tidak ingin mengajukan tafsir bantahan, melainkan mengajak kita semua untuk melihat keputusan Mahkamah Konstitusi. Pemohon judicial review mendalilkan bahwa KPI dengan kewenangan meregulasi yang begitu besar menurut UU Penyiaran akan menjadi Departemen Penerangan masa lalu yang akan mematikan kebebasan dan kemerdekaan lembaga penyiaran. Hal ini, menurut pemohon, bertentangan dengan Bab XA UUD 1945.
Nah, mari kita lihat apakah MK menerima dalil tersebut dan mencabut kewenangan KPI membuat regulasi? Jawabannya adalah sebagai berikut, "Terhadap dalil pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang terlalu besar yang dikhawatirkan oleh pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran" (lihat hlm. 80 Salinan Lengkap Keputusan MK tentang UU Penyiaran).
Jadi, jelaslah dalam jawaban tersebut, MK tidak mencabut posisi KPI sebagai lembaga negara yang independen (Pasal 7) dan kewenangannya meregulasi (Pasal 8). Tidak satu pun huruf yang ada di Pasal 8 itu diubah MK. Pasal 8 ayat (2) tetap berbunyi, "KPI mempunyai wewenang: menetapkan standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat."
Dengan demikian, sudah tepatlah MK meluruskan Pasal 62 karena tidak pernah disebut KPI berwenang atas peraturan pemerintah. MK mencoret KPI di pasal tentang peraturan pemerintah itu dan sepenuhnya kewenangan peraturan pemerintah ada di tangan presiden. Tidak satu pun komisi di negeri ini bisa mengeluarkan, apalagi menetapkan peraturan pemerintah, termasuk KPI sekalipun.
Namun, wewenang KPI untuk meregulasi tak berubah, yaitu menetapkan standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran, serta menyusun peraturan (di seluruh pasal di mana KPI disebut mengaturnya) yang keluar dalam bentuk SK KPI, seperti halnya KPU mengeluarkan SK KPU atau KPK mengeluarkan SK KPK. Dalam hal PP di bidang penyiaran, KPI melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah. Implikasi keputusan MK dalam hal ini adalah mengubah leading sector penyusunan PP, yang semula KPI menjadi pemerintah.
Siapa pun selayaknya harus menghormati keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pertanyaan kritisnya adalah siapa yang diuntungkan dari putusan MK tersebut? Apakah industri penyiaran? Apakah KPI? Apakah justru pemerintah?
Bagi industri penyiaran, Jakarta khususnya, keuntungannya nihil karena kepentingan mereka yang termaktub dalam 20 pasal telah ditolak oleh MK. KPI sendiri tak diuntungkan dan tak dirugikan. KPI dirugikan oleh liputan TV-TV Jakarta atas putusan ini, nyaris tiada liputan berimbang (cover both sides) lantaran dari belasan TV swasta, hanya TPI yang mengejar keterangan dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus ini. TV-TV lain membuat opininya sendiri dengan mengutip konferensi pers Todung Mulya Lubis.
Anggota KPI Ade Armando menganalisis pemerintahlah yang paling diuntungkan dari putusan ini dan sebaliknya industri justru semakin terkendali. Todung Mulya Lubis yang sebelumnya mengkhawatirkan KPI menjadi monster seperti Departemen Penerangan di era Orde Baru, ternyata dengan kasusnya ini malah memberi peluang departemen baru yang mengurusi penyiaran nantinya akan benar-benar berkuasa seperti Departemen Penerangan dulu.
Tentu saja kalau adu wacana dan tafsir ini diteruskan, pasti tak akan selesai-selesai. Yang perlu disadari oleh semua pihak adalah bahwa kini UU Penyiaran sesudah putusan MK telah menjadi produk hukum yang final dan mengikat. Sudah jelas sekarang di mana posisi industri penyiaran, pemerintah, dan KPI. Industri penyiaran diatur oleh UU Penyiaran dan peraturan-peraturan di bawahnya (sampai DPR melakukan revisi atau melahirkan UU Penyiaran baru); pemerintah mengeluarkan PP tentang Penyiaran sesuai dengan UU yang berlaku; dan KPI sebagai lembaga negara yang independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
KPI pascauji hukum UU Penyiaran perlu secara gencar melakukan sosialisasi dan pendidikan publik dengan strategi yang sistematis dan terukur. Strategi ini penting pertama-tama untuk mematahkan opini yang dibangun dengan penyosokan (labeling) KPI sebagai "monster" dan membentuk opini baru tentang KPI yang independen. Uniknya, strategi independensi ini selayaknya justru dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan industri. Unik, karena sebagaimana kita tahu tiga pihak ini (KPI, pemerintah, dan industri) selama ini memasang jarak satu sama lain. Jarak yang sebetulnya tak perlu karena lebih digerakkan oleh arogansi ketimbang keharusan menjaga obyektivitas.
Pemerintah tidak mungkin membuat PP dengan mengabaikan KPI dan industri, kecuali PP tersebut memang sengaja dibuat rentan untuk digugurkan lewat uji materi ke Mahkamah Agung karena tak sesuai dengan UU Penyiaran. KPI juga tidak akan efektif menjalankan fungsinya dengan terus menyerang pemerintah maupun industri. Sebaliknya, industri pun akan babak-belur saling sodok bila tak ada koridor peraturan pemerintah yang diwasiti oleh KPI.
Kerendahan hati untuk secara lapang dada menerima keputusan MK murni sebagai produk hukum kiranya perlu dihayati industri, pemerintah, dan KPI sendiri. Kini saatnya bekerja menata ranah penyiaran bersama, supaya radio yang kita dengar dan TV yang kita tonton memang layak dan sehat untuk kita dengar dan kita tonton.
Jumat, 25 April 2008
WhaT is BRoadCasting????
Broadcasting is the distribution of audio and/or video signals which transmit programs to an audience. The audience may be the general public or a relatively large sub-audience, such as children or young adults.
There are wide variety of broadcasting systems, all of which have different capabilities. The largest broadcasting systems are institutional public address systems, which transmit nonverbal messages and music within a school or hospital, and low-powered broadcasting systems which transmit radio stations or television stations to a small area. National radio and television broadcasters have nationwide coverage, using retransmitter towers, satellite systems, and cable distribution. Satellite radio and television broadcasters can cover even wider areas, such as entire continents, and Internet channels can distribute text or streamed music worldwide.
The sequencing of content in a broadcast is called a schedule. As with all technological endeavors, a number of technical terms and slang have developed. A list of these terms can be found at list of broadcasting terms. Television and radio programs are distributed through radio broadcasting or cable, often both simultaneously. By coding signals and having decoding equipment in homes, the latter also enables subscription-based channels and pay-per-view services.
http://tbn0.google.com/images?q=tbn:G1hU01tf4aL0dM:http://www.globecommsystems.com/image/slnBrdctCntr.jpg
The term "broadcast" originally referred to the sowing of seeds by scattering them over a wide field. It was adopted to refer to the analagous dissemenation of signals by early radio engineers from the midwestern United States. Broadcasting forms a very large segment of the mass media. Broadcasting to a very narrow range of audience is called narrowcasting.
Economically there are a few ways in which stations are able to continually broadcast. Each differs in the method by which stations are funded:
* in-kind donations of time and skills by volunteers (common with community broadcasters)
* direct government payments or operation of public broadcasters
* indirect government payments, such as radio and television licenses
* grants from foundations or business entities
* selling advertising or sponsorships
* public subscription or membership
Broadcasters may rely on a combination of these business models. For example, National Public Radio, a non-commercial network within the United States, receives grants from the Corporation for Public Broadcasting (which in turn receives funding from the U.S. government), by public membership, and by selling "extended credits" to corporations.
There are wide variety of broadcasting systems, all of which have different capabilities. The largest broadcasting systems are institutional public address systems, which transmit nonverbal messages and music within a school or hospital, and low-powered broadcasting systems which transmit radio stations or television stations to a small area. National radio and television broadcasters have nationwide coverage, using retransmitter towers, satellite systems, and cable distribution. Satellite radio and television broadcasters can cover even wider areas, such as entire continents, and Internet channels can distribute text or streamed music worldwide.
The sequencing of content in a broadcast is called a schedule. As with all technological endeavors, a number of technical terms and slang have developed. A list of these terms can be found at list of broadcasting terms. Television and radio programs are distributed through radio broadcasting or cable, often both simultaneously. By coding signals and having decoding equipment in homes, the latter also enables subscription-based channels and pay-per-view services.
http://tbn0.google.com/images?q=tbn:G1hU01tf4aL0dM:http://www.globecommsystems.com/image/slnBrdctCntr.jpg
The term "broadcast" originally referred to the sowing of seeds by scattering them over a wide field. It was adopted to refer to the analagous dissemenation of signals by early radio engineers from the midwestern United States. Broadcasting forms a very large segment of the mass media. Broadcasting to a very narrow range of audience is called narrowcasting.
Economically there are a few ways in which stations are able to continually broadcast. Each differs in the method by which stations are funded:
* in-kind donations of time and skills by volunteers (common with community broadcasters)
* direct government payments or operation of public broadcasters
* indirect government payments, such as radio and television licenses
* grants from foundations or business entities
* selling advertising or sponsorships
* public subscription or membership
Broadcasters may rely on a combination of these business models. For example, National Public Radio, a non-commercial network within the United States, receives grants from the Corporation for Public Broadcasting (which in turn receives funding from the U.S. government), by public membership, and by selling "extended credits" to corporations.
PENGERTIAN BROADCASTING
Broadcasting
Proses pengiriman sinyal ke berbagai lokasi secara bersamaan baik melalui satelit, radio, televisi dan media lainnya. Dalam broadcasting juga memperdalam ilmu kemasyarakatan, artinya bagaimana cara kita untuk terjun langsung dan berhadapan denga masyarakat luas.
Pendidikan broadcast meliputi :
1.Presenter
2.Kameramen
3.Wartawan media
4.Dunia perfilman, seperti: sutradara, produser, editing dll
Proses pengiriman sinyal ke berbagai lokasi secara bersamaan baik melalui satelit, radio, televisi dan media lainnya. Dalam broadcasting juga memperdalam ilmu kemasyarakatan, artinya bagaimana cara kita untuk terjun langsung dan berhadapan denga masyarakat luas.
Pendidikan broadcast meliputi :
1.Presenter
2.Kameramen
3.Wartawan media
4.Dunia perfilman, seperti: sutradara, produser, editing dll
Langganan:
Postingan (Atom)